Rabu, September 27Selamat Datang di Media Warta-1, Selamat Membaca

Kawan dan Lawan dalam Politik Bedanya Setipis Kulit Bawang, Hati-hati!

WARTA-1 – Siapa yang tidak ingin memiliki teman dan sabahat di setiap kesempatan, baik perkumpulan maupun partai politik sekalipun. Semua pasti ingin, pasti butuh.

Pertemanan, persahabatan, adalah keniscayaan yang mengikuti keseharian manusia. Tidak ada seorang pun yang bisa hidup sendiri tanpa membutuhkan orang lain. Setiap manusia, hidup dalam kebersamaan, dalam komunitasnya masing-masing.

Hal itulah yang membuat manusia muncul berorganisasi, berkelompok, bahkan dalam urusan target dan tujuan tertentu di bidang kekuasaan, manusia hidup berpolitik dan berpartai. Semua itu ditujukan agar dapat meraih capaian yang diinginkan, baik untuk capaian bersama atau bersifat pribadi.

Dalam mencapai keinginan itu, setiap orang akan dihadapkan pada berbagai persoalan. Halangan, rintangan, bahkan perlawanan dari pihak lain dalam satu kelompok, akan terjadi dan dilalui.

Nah, bagaimana dengan orang yang nyata-nyata adalah lawan? Kalau ini mah gampang. Setiap lawan adalah sosok atau person yang benar-benar ada di hadapan atau di samping. Saat perlombaan hidup menuju kesuksesan pun akan ada lawan yang menyertai, apalagi bagi orang yang sedang berpolitik. Kawan satu ruang dan wadah yang sedang menuju arah yang sama, adalah sekelompok orang yang berlomba. Konsepnya adalah lawan tanding, dan itu adalah hal lumrah saja.

Sementgara itu, dalam berbagai kesempatan, apalagi di tahun-tahun politik seperti saat ini, beragam masalah pertemanan muncul di tengah masyarakat. Ada kawan yang saling sikut demi meloloskan kepentingannya atau kepentingan pihak lain yang ia wakili, ada pula kawan yang berubah menjadi lawan karena ‘adu runcing’ trik politik. Hal ini menjadi fakta di lapangan bila ditelisik lebih jauh.

Selain ‘adu runcing’ itu, ada pula pertemanan dalam dunia politik yang berkaitan dengan jiwa-jiwa ‘sok pahlawan’ yang ada pada pribadi-pribadi berkualitas rendah tapi merasa dirinya ‘pinter’ dengan berbagai kemampuan. Person seperti ini adalah salah satu elemen paling berbahaya.

Seorang teman yang juga calon anggota legislatif (caleg) saat berbincang seputar masalah-masalah politik dengan penulis, mengatakan, “pengkhianatan oleh orang-orang intelektual ini benar-benar deh…”

Penulis menimpali, kaum intelektual ketika berkhianat, akan kentara. Karena bila hati dan pikirannya berkhianat, maka akan terjadi perlawanan oleh intelektualitas yang ia miliki. Yang paling berbahaya adalah ketika seorang nointelektual berkhianat, maka seluruh elemen dalam dirinya akan mendukung pengkhianatan itu.

Pengkhianatan bukan berarti harus dalam bentuk konfrontasi atau berhadapan secara fisik maupun kepentingan. Bisa jadi pengkhianatan itu dalam bentuk lain, seperti seseorang yang tidak memihak pada posisi apapun karena ia punya kepentingan, itu juga pengkhianatan.

Sekalipun seorang sahabat, bertahun-tahun menjadi teman seperjuangan, pengkhianatan kadang juga terjadi. Adakalanya hanya karena bentuk pemenuhan kebutuhan; cari makan, mengumpulkan uang receh, ia main mata dengan pihak lain. Pertemanan yang begini, kerap menutupi pandangan seseorang, menganggap hal biasa ketika dilihatnya di depan mata bahwa temannya hanya menggerogoti dirinya saja.

Persoalan ‘perkawanan’ yang terjadi di lingkungan politik, harus dipahami sebagai bentuk sebuah perlombaan. Karena pada dasarnya, setiap orang yang katanya ‘berteman’, hidup sebagai kawan, dalam urusan politik nyatanya adalah orang yang sedang berpacu menuju arah yang sama. Entah itu sama-sama menuju kekuasaan, jabatan, kursi dewan, atau hanya sekadar ‘cari makan’.

Ingatlah! Beda kawan dan lawan dalam berpolitik, sangat tipis. Setipis kulit bawang yang ketika telah mulai diiris akan membuat anda menangis. Camkan! Tidak ada kawan sejati, yang ada hanyalah kepentingan abadi. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *