


WARTA-1 – Politik, seni dan trik memainkan piranti pendukung menuju kekuasaan. Nyaris berbarengan dengan manajemen, mengelola dan mengemas sejumlah perangkat kerja, termasuk manusia di dalamnya.
Adakalanya politik mengedepankan seninya saja. Di saat itu lahirlah sebuah persatuan dalam pengorganisasian suatu kelompok dengan baik. Tanpa trik, tanpa tendensi apa-apa. Semua bersandar pada seni semata. Utamanya adalah keindahan hidup, sayang menyayangi, saling memajukan, menuntun hidup menuju akhir sebuah perjalanan singkat di alam bernama dunia.
Bila dalam politik hanya memainkan triknya saja, maka keangkaraan sering pula menjadi teman manusia. Saling sikut, injak menginjak, jatuh menjatuhkan, saling mendahului.
Trik memang bukan suatu hal yang berbau negatif saja, ada pula nagian-bagian positifnya. Namun dalam berpolitik, bila hanya memainkan trik dalam menuju kekuasaan, maka jamak ditemukan yang bersifat negatif pola dan alurnya. Trik memang dibutuhkan, namun perlu dituntun oleh seni yang mendasarinya dari jiwa-jiwa yang berakal sehat.
Bila politik dalam kenyataan melalui seni dan trik, berjalan seiring antara keduanya, maka timbullah keseimbangan, kesetaraan dalam suatu pola. Seni dan trik dalam politik, adalah sebagai suatu kesatuan, bukan dua hal yang bertolak belakang.
Seni dan trik ibarat pasangan suami istri. Keduanya saling melengkapi, bukan saling menelikung untuk kepentingan dan kejumawaan masing-masing. Bila salah satu merasa lebih kuat, maka biasanya akan merendahkan nilai yang lain. Seni dan trik, menyatu dalam politik.
Mengelola seni dan trik dalam berpolitik, ternyata bukan suatu hal yang mudah. Tidak seringan mengucapkannya, berat dalam implementasi. Segala bentuk kerumitan bisa terjadi ketika memainkan peran antara keduanya, menyeimbangkannya agar saling menguatkan. Bukan malah bertarung satu sama lain di luar tujuan yang ingin dicapai.
Lalu bagaimana mengelola politik dengan peran seni dan trik? Kembalikan saja pada manusianya, karena ibarat pedang tajam bermata dua, akan berguna untuk sesuatu yang baik bila dipegang oleh orang baik. Sebaliknya, akan bernilai buruk jika dipegang oleh manusia berkarakter buruk.
Politik, keseimbangan antara seni dan trik kadang menyertai keseharian manusia, bukan hanya di tahun-tahun politik saja. Dalam pertemanan, apalagi hubungan yang dibangun awalnya dari komunikasi politik, rentan menjadi korban keseimbangan dua elemen di atas.
Secara ilmiah, komunikasi politik dapat diartikan sebagai suatu proses komunikasi yang di dalamnya terdapat pesan-pesan politik. Dalam komunikasi politik, ada beberapa aktor atau tokoh politik yang ikut terlibat sebagai komunikator dan komunikan, pesan politik, dan media politik yang memiliki kaitan dengan tujuan dari politik itu sendiri yaitu kekuasaan.
Proses di atas, akan mengalami distorsi yang berefek negatif bagi pelaku-pelaku komunikasi politik bila tidak pandai menyeimbangkan seni dan trik berpolitik. Mochtar Pabotinggi (1993) menyebut, dalam praktik proses komunikasi politik sering mengalami distorsi. Salah satu adalah distorsi bahasa sebagai ‘topeng’.
Distorsi bahasa sebagai dalam komunikasi politik dilakukan dengan euphemism (penghalusan kata). Pemahamannya adalah, bahasa yang menampilkan sesuatu lain dari yang dimaksudkan atau berbeda dengan situasi sebenarnya. Bisa disebut seperti diungkapkan Ben Anderson (1966), ‘bahasa topeng’.
Bahasa topeng sebagai suatu bentuk distorsi komunikasi politik, kerap mengikis makna hakiki dari upaya komunikasi yang dilakukan. Sering terjadi salah pemahaman, berselisih rasa, hingga pecah kongsi dalam mencapai tujuan.
Kuncinya, politik sebagai seni dan trik, hanya akan berhasil baik bila dilalui oleh mereka yang matang secara politik. Kematangan ini bukan diukur dari lamanya seseorang berkecimpung di dunia politik, namun lebih pada keterampilan yang didapat dari kondisi lapangan, diikuti dengan keilmuan yang cukup.
Politik, antara seni dan trik, adalah alat untuk memoles kehidupan dengan tujuan baik. Polesan yang terlihat, akan menjadi ukuran dari kepiawaian pelakunya. Kasar atau halus, adalah bukti dari kemampuan seseorang memainkan seni dan trik yang ia punya. Wallahua’lam bishshawaab. (*)
Penulis: Nova Indra (Writer, CEO P3SDM Melati)