Minggu, Maret 26Selamat Datang di Media Warta-1, Selamat Membaca

Ketika Kepala Daerah Pecah Kongsi, Bagaimana Seharusnya Sikap Warga?

WARTA-1 – Sudah menjadi rahasia umum dan jamak terjadi, pasca pemilihan umum kepala daerah (Pilkada), satu atau dua bulan setelah pelantikan, kepala daerah dan wakil kepala daerah mulai pecah kongsi.

Istilah pecah kongsi ini biasa disebut masyarakat setelah melihat tidak harmonisnya hubungan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang sebenarnya adalah ‘satu jabatan’. Mengapa satu jabatan? Karena pada proses pemilihannya yang dipilih adalah pasangan calon kepala daerah, bukan masing-masing secara personal.

Pecah kongsi ini kerap pula membawa petaka bagi kepemimpinan yang ada di daerah itu sendiri. Bagaimana tidak, susksesnya program pembangunan daerah ada di kinerja pasangan kepala daerah (kepala daerah dan wakil kepala daerah) tersebut.

Baca Juga:  Koalisi dengan PKS dan Demokrat Diperkirakan Rampung

Bila di antara mereka tidak lagi harmonis, sinkronisasi kinerja antara keduanya dipastikan tidak terjalin. “Pada gilirannya membawa ketidaksabilan kepemimpinan di daerah,” demikian diungkapkan Nova Indra, pimpinan lembaga Pusat Pengkajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (P3SDM) Melati, Minggu (5/3) saat diskusi ‘Menuju Pemilu 2024’.

Menurut Nova, biasanya pecah kongsi pasangan kepala daerah itu terjadi bukan tanpa sebab, bukan pula terjadi tiba-tiba.

“Ini ibarat pasangan suami istri. Ada yang menikah terpaksa, ada yang dipaksa menikah. Keduanya akan berakibat hilangnya ‘rasa’ walaupun sedang bersama dalam satu bahtera rumahtangga. Kalau pada pasangan kepala daerah, bisa jadi pasangan itu terbentuk karena kepentingan, atau karena terpaksa dipasangkan oleh partai atau pihak-pihak tertentu. Hasilnya, pecah kongsi sejak awal pasca pelantikan,” papar Nova.

Baca Juga:  23 Partai Sudah Daftarkan Ikuti Pemilu 2024

Ditambahkannya, pecah kongsinya pasangan kepala daerah, berdampak besar keberlangsungan kepemimpinan di masa berikutnya. “Biasanya akan semakin meruncing menjadi persaingan memperebutkan pengaruh di kalangan staf dan pegawai. Jelas risikonya pada kinerja pegawai di daerah itu yang otomatis terdampak,” imbuh Nova.

Lalu bagaimana bagi masyarakat menyikapi persoalan pecah kongsinya pasangan kepala daerah itu? “Jangan berpihak pada salah satu person. Cermati dan pahami saja. Kalau mereka saja pecah kongsi karena ada kepentingan-kepentingan pribadi, jelas mereka bukan orang yang layak dijadikan panutan,” ujar Nova lagi.

Ke depan, menuju Pilkada 2024, suara-suara sumbang di daerah terkait pimpinan daerah yang pecah kongsi terus merebak. Dan masyarakat seharusnya menjadikan pelajaran untuk pemilihan berikutnya. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *